Pengertian, Pokok Pembahasan, Metode Pengetahuan Epistemologi (Empirisme, Rasionalisme, Fenomenalisme, Intusionisme, Dialektis), Hubungan Epistemologi dan Ilmu Lain, Perkembangan Epistemologi dalam Filsafat Barat, Epistemologi pada Abad Pertengahan (dari Awal Masehi hingga Abad Ke-15), Epistemologi pada Zaman Modern, Gagasan Tentang Universalia
00:24:00
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Ilmu
pengetahuan adalah suatu hal yang harus dimiliki oleh masyarakat sebab ilmu
pengetahuan bersifat universal. Seperti yang tertulis dalam pasal 31 ayat 1-5
yang memaparkan tentang hak setiap warga negara untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan, dalam kata lain pendidikan. Pengetahuan tersebut dapat diperoleh
dari komunikasi satu sama lain. Komunikasi diperlukan dalam proses pertambahan
ilmu pengetahuan karena melalui
komunikasi tersebut manusia dapat bertukar informasi. Pengetahuan sangat
diperlukan bagi kehidupan manusia karena dapat memberikan manfaat yang sangat
besar bagi kehidupan. Masalah Epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan
tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan,
perlu diketahui bagaimana cara ilmu pengetahuan itu didapatkan dan apa
sarananya. Epistemologi juga disebut
sebagai teori pengetahuan karena mengkaji seluruh tolok ukur ilmu-ilmu manusia,
termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat gamblang, merupakan
dasar dan pondasi segala ilmu dan pengetahuan.
Epistemologi merupakan salah satu cabang dari ilmu filsafat yang cukup
kompleks. Sebab Epistemologi menjangkau permasalahan yang amat luas. Selain
itu, pengetahuan adalah hal abstrak yang sering dipandang sebelah mata oleh
setiap manusia. Maka dari itu, perlu diketahui apa saja yang menjadi
dasar-dasar pengetahuan yang dapat digunakan manusia untuk mengembangkan diri
dalam mengikuti perkembangan informasi yang pesat.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan Epistemologi?
2.
Apa
saja topik pembahasan Epistemologi?
3.
Metode
apa saja yang di gunakan dalam Epistemologi?
4.
Bagaimana
hubungan Epistemologi dengan ilmu atau cabang filsafat yang lain?
5.
Bagaimana
sejarah perkembangan Epistemologi?
1.3 Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengtahui pengertian Epistemologi
2.
Untuk
mengetahui topik pembahasan Epistemologi
3.
Untuk
mengetahui metode-metode yang digunakan
4.
Untuk
mengetahui hubungan dengan ilmu-ilmu lain
5.
Untuk
mengetahui sejarah Epistemologi
1.4 Manfaat
penulisan
Dengan memahami Epistemologi dapat menambah
pengetahuan mengenai Epistemologi, topic pembahasannya, metode yang digunakan,
hubungan dengan ilmu lain dan sejarah Epistemologi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Epistemologi
Epistemologi berasal dari
bahasa Yunani :
↔ Episteme yang artinya Pengetahuan
Dan
↔Logos yang artinya Kata,
/ Pembicaraan, / Ilmu
Epistemologi adalah cabang filsafat yang
berkaitan dengan asal, sifat, karakter, dan jenis pengetahunan.
Ilmu-ilmu
yang dimiliki oleh manusia berhubungan satu sama lain, dan tolok ukur
keterkaitan ini memiliki derajat yang berbeda-beda. Sebagian ilmu merupakan
asas dan pondasi bagi ilmu-ilmu lain, yakni nilai dan validitas ilmu-ilmu lain
bergantung kepada ilmu tertentu. Dari sisi ini, ilmu tertentu tersebut dikategorikan sebagai ilmu dan pengetahuan dasar. Sebagai
contoh, dasar dari semua ilmu empirik adalah prinsip kausalitas dan kaidah ini
menjadi pokok bahasan dalam filsafat, dengan demikian, filsafat merupakan dasar
dan pijakan bagi ilmu-ilmu empirik. Begitu pula, ilmu logika yang merupakan
alat berpikir manusia dan ilmu yang berkaitan dengan cara berpikir yang benar,
diletakkan sebagai pendahuluan dalam filsafat dan setiap ilmu-ilmu lain, maka
dari itu ia bisa ditempatkan sebagai dasar dan asas bagi seluruh pengetahuan
manusia.
Namun
Epistemologi
(teori pengetahuan) karena mengkaji seluruh tolok
ukur ilmu-ilmu manusia, termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang
bersifat gamblang, merupakan dasar dan pondasi segala ilmu dan pengetahuan.
Walaupun ilmu logika dalam beberapa bagian memiliki kesamaan dengan Epistemologi,
akan tetapi, ilmu logika merupakan ilmu tentang metode berpikir dan
berargumentasi yang benar, diletakkan setelah Epistemologi.
Hingga
tiga abad sebelum abad ini, Epistemologi bukanlah suatu ilmu yang dikategorikan
sebagai disiplin ilmu tertentu. Akan tetapi, pada dua abad sebelumnya,
khususnya di barat, Epistemologi diposisikan sebagai salah satu disiplin ilmu.
Dalam filsafat Islam permasalahan Epistemologi tidak dibahas secara tersendiri,
akan tetapi, begitu banyak persoalan Epistemologi dikaji secara meluas dalam
pokok-pokok pembahasan filsafat Islam, misalnya dalam pokok kajian tentang
jiwa, kenon-materian jiwa, dan makrifat jiwa. Pengindraan, persepsi, dan ilmu
merupakan bagian pembahasan tentang makrifat jiwa. Begitu pula hal-hal yang
berkaitan dengan Epistemologi banyak dikaji dalam pembahasan tentang akal,
objek akal, akal teoritis dan praktis, wujud pikiran, dan tolok ukur kebenaran
dan kekeliruan suatu proposisi. Namun belakangan ini, di Islam, Epistemologi
menjadi suatu bidang disiplin baru ilmu yang mengkaji sejauh mana pengetahuan
dan makrifat manusia sesuai dengan hakikat, objek luar, dan realitas
eksternal.
Latar
belakang hadirnya pembahasan Epistemologi itu adalah karena para pemikir
melihat bahwa panca indra lahir manusia yang merupakan satu-satunya alat
penghubung manusia dengan realitas eksternal terkadang atau senantiasa
melahirkan banyak kesalahan dan kekeliruan dalam menangkap objek luar, dengan
demikian, sebagian pemikir tidak menganggap valid lagi indra lahir itu dan
berupaya membangun struktur pengindraan valid yang rasional. Namun pada sisi
lain, para pemikir sendiri berbeda pendapat dalam banyak persoalan mengenai
akal dan rasionalitas, dan keberadaan argumentasi akal yang saling kontradiksi
dalam masalah-masalah pemikiran kemudian berefek pada kelahiran aliran Sophisme
yang mengingkari validitas akal dan menolak secara mutlak segala bentuk
eksistensi eksternal. Dengan alasan itu,
persoalan Epistemologi sangat dipandang serius sedemikian sehingga filosof
Yunani, Aristoteles berupaya
menyusun kaidah-kaidah logika sebagai aturan dalam berpikir dan berargumentasi
secara benar yang sampai sekarang ini masih digunakan. Lahirnya kaidah itu
menjadi penyebab berkembangnya validitas akal dan indra lahir sedemikian
sehingga untuk kedua kalinya berakibat memunculkan keraguan terhadap nilai akal
dan indra lahir di Eropa, dan setelah Renaissance
dan kemajuan ilmu empirik, lahir kembali kepercayaan kuat terhadap indra lahir
yang berpuncak pada Positivisme. Pada era tersebut, Epistemologi lantas menjadi
suatu disiplin ilmu baru di Eropa yang dipelopori oleh Descartes (1596-1650)
dan dikembangkan oleh filosof Leibniz
(1646–1716) kemudian disempurnakan oleh John
Locke di Inggris.
Manusia
dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang
berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, dari
manakah saya berasal? Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat
manusia? Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor
kesempurnaan jiwa manusia? Mana pemerintahan yang benar dan adil? Mengapa
keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih? Apakah bumi
mengelilingi matahari atau sebaliknya? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain.
Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari
jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang
akan dihadapinya.
Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat
dan berupaya mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat
memahami dan menyadari bahwa:
1.
Hakikat itu ada dan nyata;
2.
Kita bisa mengajukan pertanyaan tentang hakikat itu;
3.
Hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami;
4.
Manusia bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat
atas hakikat itu. Akal dan pikiran manusia bisa menjawab persoalan-persoalan
yang dihadapinya, dan jalan menuju ilmu dan pengetahuan tidak tertutup bagi
manusia.
2.2 Pokok Pembahasan Epismologi
Dengan
memperhatikan definisi Epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok
pengkajian Epistemologi ialah ilmu, makrifat dan pengetahuan. Dalam hal ini, dua
poin penting akan dijelaskan. Memiliki istilah yang berbeda dan setiap istilah
menunjukkan batasan dari ilmu itu.
Istilah-istilah ilmu tersebut adalah
sebagai berikut:
1.
Makna leksikal ilmu adalah sama dengan
pengideraan secara umum dan mencakup segala hal yang hakiki, sains, teknologi,
keterampilan, kemahiran, dan juga meliputi ilmu-ilmu seperti hudhûrî,hushûlî, ilmu Tuhan, ilmu para malaikat, dan ilmu manusia.
2.
Ilmu adalah kehadiran (hudhûrî) dan segala bentuk penyingkapan. Istilah ini
digunakan dalam filsafat Islam. Makna ini mencakup ilmu hushûlîdan ilmu hudhûrî.
3.
Ilmu yang hanya dimaknakan sebagai ilmu hushûlî dimana berhubungan
dengan ilmu logika (mantik).
4.
Ilmu adalah pembenaran (at-tashdiq) dan hukum yang meliputi kebenaran yang
diyakini dan belum diyakini.
5.
Ilmu ialah kebenaran dan keyakinan yang
bersesuaian dengan kenyataan dan realitas eksternal.
6.
Ilmu adalah keyakinan benar yang bisa
dibuktikan.
7.
Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi
universal yang saling bersesuaian dimana tidak berhubungan dengan
masalah-masalah sejarah dan geografi.
8.
Ilmu ialah gabungan proposisi-proposisi
universal yang hakiki dimana tidak termasuk hal-hal yang linguistik.
9.
Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi
universal yang bersifat empirik.
Sudut pembahasan,
yakni apabila subyek Epistemologi adalah ilmu dan makrifat, maka dari sudut
mana subyek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam ontologi,
logika, dan psikologi. Sudut-sudut yang berbeda bisa menjadi pokok bahasan
dalam ilmu. Terkadang yang menjadi titik tekan adalah dari sisi hakikat
keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah satu pembahasan dibidang ontologi dan
filsafat. Sisi pengungkapan dan kesesuian ilmu dengan realitas eksternal juga
menjadi pokok kajian Epistemologi. Sementara aspek penyingkapan ilmu baru
dengan perantaraan ilmu-ilmu sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab
hadirnya pengindraan adalah dibahas dalam ilmu logika. Dan ilmu psikologi
mengkaji subyek ilmu dari aspek pengaruh umur manusia terhadap tingkatan dan
pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang pembahasan akan sangat berpengaruh dalam
pemahaman mendalam tentang perbedaan-perbedaan ilmu.
Dalam
Epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan
observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan. Dan dari sisi ini, ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî juga akan menjadi
pokok-pokok pembahasannya. Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai
keumuman penyingkapan dan pengindraan adalah bisa dijadikan sebagai subyek
dalam Epistemologi.
Dengan
memperhatikan definisi dan pengertian Epistemologi, maka menjadi jelaslah bahwa
metode ilmu ini adalah menggunakan akal dan rasio, karena untuk menjelaskan
pokok-pokok bahasannya memerlukan analisa akal. Yang dimaksud metode akal di
sini adalah meliputi seluruh analisa rasional dalam koridor ilmu-ilmu hushûlîdan ilmuhudhûrî. Dan dari dimensi lain,
untuk menguraikan sumber kajian Epistemologi dan perubahan yang terjadi di
sepanjang sejarah juga menggunakan metode analisa sejarah.
2.3 Metode-Metode Pengetahuan
Epistemologi atau Teori
Pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan
tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai
metode.
A. Empirisme
Emperisme adalah suatu cara atau metode dalam filsafat yang
mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke
bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan
akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa), dan diadalam buku
catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut John Locke
seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta
memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari pengindraan serta refleksi yang
pertama-pertama dan sederhana tersebut.
Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan, yang
secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua
pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada
pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan
sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau
tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau
setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.
B. Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena
rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling
dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme
yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di
dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang
sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di
dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
C. Fenomenalisme
Bapak
Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman.
Barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri merangsang alat
inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan
disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah
mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaannya sendiri,
melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya,
pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).
Bagi Kant para penganut empirisme benar
bila berpendapat bahwa semua pengetahuan didasarkan pada pengalaman-meskipun
benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar,
karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta
pengalaman.
D. Intusionisme
Menurut
Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan
seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan,
tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan
intuitif.
Salah satu di antara unsur-unsur yang
berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu
bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan
demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi
pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant
masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada
pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman
inderawi maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat, intusionisme tidak
mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang
disimpulkan darinya. Intusionisme – setidak-tidaknya dalam beberapa
bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui
intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi-yang meliputi sebagian saja
– yang diberikan oleh analisis. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan
oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang
diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu
tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya
intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.
E. Dialektis
Dialektis yaitu tahap logika yang
mengajarkan kaidah-kaidah dan metode penuturan serta analisis sistematik
tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan. Dalam
kehidupan sehari-hari dialektika berarti kecakapan untuk melekukan perdebatan.
Dalam teori pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak tersusun dari
satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam percakapan, bertolak paling
kurang dua kutub.
2.4 Hubungan
Epistemologi dengan Ilmu-Ilmu Lain
Hubungan
Epistemologi dengan Ilmu Logika. Ilmu logika adalah suatu ilmu yang
mengajarkan tentang metode berpikir benar, yakni metode yang digunakan oleh
akal untuk menyelami dan memahami realitas eksternal sebagaimana adanya dalam penggambaran
dan pembenaran. Dengan memperhatikan definisi ini, bisa dikatakan bahwa
epistemologi jika dikaitkan dengan ilmu logika dikategorikan sebagai
pendahuluan dan mukadimah, karena apabila kemampuan dan validitas akal belum
dikaji dan ditegaskan, maka mustahil kita membahas tentang metode akal untuk
mengungkap suatu hakikat dan bahkan metode-metode yang ditetapkan oleh ilmu
logika masih perlu dipertanyakan dan rekonstruksi, walhasil masih menjadi hal
yang diragukan.
Hubungan
epistemologi dengan Filsafat. Pengertian umum filsafat adalah pengenalan
terhadap eksistensi (ontologi), realitas eksternal, dan hakikat keberadaan.
Sementara filsafat dalam pengertian khusus (metafisika) adalah membahas
kaidah-kaidah umum tentang eksistensi. Dalam dua pengertian tersebut, telah
diasumsikan mengenai kemampuan, kodrat, dan validitas akal dalam memahami
hakikat dan realitas eksternal. Jadi, epistemologi dan ilmu logika merupakan
mukadimah bagi filsafat
Hubungan
epistemologi dengan Teologi dan ilmu tafsir.Ilmu kalam (teologi) ialah suatu
ilmu yang menjabarkan proposisi-proposisi teks suci agama dan penyusunan
argumentasi demi mempertahankan peran dan posisi agama. Ilmu tafsir adalah
suatu ilmu yang berhubungan dengan metode penafsiran kitab suci. Jadi,
epistemologi berperan sentral sebagai alat penting bagi kedua ilmu tersebut,
khususnya pembahasan yang terkait dengan kontradiksi ilmu dan agama, atau akal
dan agama, atau pengkajian seputar pluralisme dan hermeneutik, karena akar pembahasan
ini terkait langsung dengan pembahasan epistemologi.
Jika
kita perhatikan definisi epistemologi dan hubungannya dengan ilmu-ilmu lainnya,
maka jelaslah mengenai urgensi kajian epistemologi, terkhusus lagi apabila kita
menyimak ruang pemikiran dan budaya yang ada serta kritikan, keraguan, dan
persoalan inti yang dimunculkan seputar keyakinan agama dan dasar-dasar etika,
fiqih, penafsiran, dan hak-hak asasi manusia dimana sentral dari semua
pembahasan tersebut berpijak pada epistemologi.
Hubungan
epistemologi dengan persoalan politik adalah hal yang juga tak bisa disangkal
dan saling terkait.Plato berkata pada penguasa Yunani ketika itu, “Anda tidak
layak memerintah, karena Anda bukan seorang hakim (filosof).” Dan juga
berkaitan dengan pemerintahan Islam bisa dikatakan bahwa karena manusia tak
bisa memahami hakikat dirinya sendiri sebagaimana yang semestinya, maka
penetapan hukum hanya berada ditangan Tuhan, dan para ulama yang adil adalah
wakil Tuhan yang memiliki hak memerintah. Pada sisi lain, sebagian beranggapan
bahwa makrifat agama adalah bukan bagian dari ilmu, dan untuk memerintah mesti
dibutuhkan ilmu politik dan pemerintahan, sementara kaum ulama tersebut tak
menguasainya, dengan demikian, mereka tidak berhak memerintah.
Pembahasan
seperti tersebut di atas membuktikan kepada kita pentingnya pengkajian
epistemologi dan konklusi-konklusinya, dan dari aspek lain, begitu banyak ayat
al-Quran berkaitan dengan argumentasi akal, memotivasi manusia untuk menggapai
ilmu dan makrifat, dan menolak segala bentuk keraguan. Semua kenyataan ini
berarti bahwa pencapaian keyakinan dan kebenaran adalah sangat mungkin dengan
perantaraan akal dan argumentasi rasional, dan jika ada orang yang ragu atas
realitas ini, maka minimalnya iaharus menerimanya untuk menjawab segala bentuk
kritikan.
Perbedaan
hakiki manusia dan hewan terletak pada potensi akal-pikiran. Rahasia
kemanusiaan manusia adalah bahwa ia mesti menjadi maujud yang berakal dan
mengaplikasikan kekuatan akal dalam semua segmen kehidupannya serta seluruh
kehendak dan iradahnya terwujud melalui pancaran petunjuk akal. Hal ini berarti
bahwa jika akal dan rasionalitasnya dipisahkan dari kehidupannya, maka yang
tertinggal hanyalah sifat kehewannya, dengan demikian, segala dinamika hidupnya
berasal dari kecenderungan hewaninya.
Manusia
ialah maujud yang berakal dan seluruh aktivitasnya dinapasi oleh akal dan
pengetahuan, maka dari itu, suatu rangkaian persoalan yang prinsipil menjadi
terkonstruksi dengan tujuan untuk mencarikan solusi atas segala permasalahan
yang timbul berkaitan dengan pengetahuan dan akal manusia, dimana hal itu
merupakan pembatas substansial antara iadengan hewan.Yang pasti, jawaban atas
segala persoalan mendasar niscaya dengan upaya-upaya rasional dan filosofis,
karena ilmu-ilmu alam dan matematika tidak mampu memberikan solusi komprehensif
dan universal atasnya. Karena telah jelas urgensi upaya rasional untuk
kehidupan hakiki manusia, maka persoalan yang kemudian muncul ialah apakah akal
manusia mampu menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut? Jika nilai dan
validitas pengenalan akal belum ditegaskan, maka tidaklah berguna pengakuan
akal dalam mengajukan solusi atas segala permasalahan yang dihadapi manusia,
dan keraguan akan senantiasa bersama manusia bahwa apakah akal telah memberikan
solusi yang benar atas perkara-perkara tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini
adalah inti pembahasan epistemologi. Dengan begitu, sebelum melangkah ke arah
upaya-upaya rasional dan filosofis, langkah pertama yang mesti diambil adalah
membedah persoalan-persoalan epistemologi.
Dengan
ungkapan lain, apabila kita merujuk kepada daftar isi persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan pengetahuan, misalnya persoalan tentang keberadaan realitas
eksternal dan kemungkinan terjalinnya hubungan manusia dengan realitas eksternal
itu, maka akan menjadi jelas bagi kita bahwa epistemologi merupakan pemberi
validitas dan nilai kepada seluruh pemikiran filsafat dan penemuan ilmiah
manusia sedemikian sehingga kalau persoalan-persoalan yang berhubungan dengan
ilmu dan pengetahuan tersebut belumlah menjadi jelas, maka tak satu pun
pemikiran filsafat manusia dan penemuan ilmiah yang akan bernilai, karena semua
aliran filsafat dan ilmu mengaku telah berhasil mengungkap hakikat alam,
manusia, dan rahasia fenomena eksistensial lainnya.
Berkenaan
dengan urgensi epistemologi, kami akan kutip ungkapan seorang pemikir dan filosof
Islam kontemporer asal iran, Murthada Muthahhariia berkata “Pada
era ini kita menyaksikan keberadaan aliran-aliran filsafat sosial dan ideologi
yang berbeda dimana masing-masingnya mengusulkan suatu jalan dan solusi hidup”.
Aliran-aliran ini memiliki sandaran pemikiran yang bersaing satu sama lain
untuk merebut pengaruh. Muncul suatu pertanyaan, mengapa aliran-aliran dan
ideologi-ideologi tersebut memiliki perbedaan? Jawabannya, penyebab lahirnya
perbedaan-perbedaan tersebut terletak pada perbedaan pandangan dunianya (word
view) masing-masing.
Hal
ini karena, semua ideologi berpijak pada pandangan dunia dan setiap pandangan
dunia tertentu akan menghadirkan ideologi dan aliran sosial tertentu pula.
Ideologi menentukan apa yang mesti dilakukan oleh manusia dan mengajukan
bagaimana metode mencapai tujuan itu. Ideologi menyatakan kepada kita bagaimana
hidup semestinya. Mengapa ideologi mengarahkan kita? Karena pandangan dunia
menegaskan suatu hukum yang mesti diterapkan pada masyarakat dan sekaligus
menentukan arah dan tujuan hidup masyarakat. Apa yang ditentukan oleh pandangan
dunia, itu pula yang akan diikuti oleh ideologi. Ideologi seperti filsafat
praktis, sedangkan pandangan dunia menempati filsafat teoritis. Filsafat
praktis bergantung kepada filsafat teoritis. Mengapa suatu ideologi berpijak
pada materialisme dan ideologi lainnya bersandar pada teisme? Perbedaan
pandangan dunia tersebut pada hakikatnya bersumber dari perbedaan dasar-dasar
pengenalan, pengetahuan, dan epistemologi.
2.5 Perkembangan
Epistemologi Dalam Filsafat Barat
Apabila
kita membagi perjalanan sejarah filsafat Barat dalam tiga zaman tertentu
(Yunani kuno, abad pertengahan, dan modern) dan menempatkan Yunani kuno sebagai
awal dimulainya filsafat Barat, maka secara implisit bisa dikatakan bahwa pada
zaman itu juga lahir epistemologi. Pembahasan-pembahasan yang dilontarkan oleh
kaum Sophis dan filosof-filosof pada zaman itu mengandung poin-poin kajian yang
penting dalam epistemologi.
Hal
yang mesti digaris bawahi ialah pada zaman Yunani kuno dan abad pertengahan
epistemologi merupakan salah satu bagian dari pembahasan filsafat, akan tetapi,
dalam kajian filsafat pasca itu epistemologi menjadi inti kajian filsafat dan
hal-hal yang berkaitan dengan ontologi dikaji secara sekunder. Dan epistemologi
setelah Renaissance dan Descartes
mengalami suatu perubahan baru.
A. Epistemologi
di Zaman Yunani Kuno
Berdasarkan
penulis sejarah filsafat, orang pertama yang membuka lembaran kajian
epistemologi adalah Parmenides. Hal ini karena iamenempatkan dan menekankan
akal itu sebagai tolok ukur hakikat. Pada dasarnya, iamengungkapkan satu sisi
dari sisi-sisi lain dari epistemologi yang merupakan sumber dan alat ilmu, akal
dipandang sebagai yang valid, sementara indra lahir hanya bersifat penampakan
dan bahkan terkadang menipu.
Heraklitus
berbeda dengan Parmenides, ia menekankan pada indra lahir. Heraklitus
melontarkan gagasan tentang perubahan yang konstan atas segala sesuatu dan
berkeyakinan bahwa dengan adanya perubahan yang terus menerus pada segala
sesuatu, maka perolehan ilmu menjadi hal yang mustahil, karena ilmu memestikan
kekonstanan dan ketetapan, akan tetapi, dengan keberadaan hal-hal yang
senantiasa berubah itu, maka mustahil terwujud sifat-sifat khusus dari ilmu
tersebut. Oleh karena itu, sebagian peneliti sejarah filsafat menganggap
pemikirannya sebagai dasar Skeptisisme.
Kaum
Sophis ialah kelompok pertama yang menolak definisi ilmu yang bermakna
kebenaran yang sesuai dengan realitas hakiki eksternal, hal ini karena terdapat
kontradiksi-kontradiksi pada akal dan kesalahan pengamatan yang dilakukan oleh
indra lahir.
·
Pythagoras
berkata “Manusia merupakan parameter
segala sesuatu, tolok ukur eksistensi segala sesuatu, dan mizan ketiadaan
segala sesuatu. Gagasan Pythagoras ini kelihatannya lebih menyuarakan dimensi
relativitas dalam pemikiran.
·
Gorgias
menyatakan bahwa sesuatu itu tiada,
apabila ia ada, maka mustahil diketahui, kalau pun iabisa dipahami, namun tidak
bisa dipindahkan.
·
Socrates
ialah filosof pertama pasca kaum
Sophis yang lantas bangkit mengkritisi pemikiran-pemikiran mereka, dan dengan
cara induksi dan pendefinisian, ia berupaya mengungkap hakikat segala sesuatu.
Iamemandang bahwa hakikat itu tidak relatif dan nisbi.
·
Democritus
beranggapan bahwa indra lahir itu
tidak akan pernah mengantarkan pada pengetahuan benar dan segala sifat sesuatu
iabagi menjadi sifat-sifat majasi dimana dihasilkan dari penetapan pikiran
seperti warna dan sifat-sifat hakiki seperti bentuk dan ukuran. Pembagian sifat
ini kemudian menjadi perhatian para filosof dan sumber lahirnya berbagai
pembahasan.
·
Platomurid Socrates
ialah filosof pertama yang secara
serius mendalami epistemologi dan menganggap bahwa permasalahan mendasar
pengetahuan indriawi itu ialah terletak pada perubahan objek indra. Iajuga
berkeyakinan, karena pengetahuan hakiki semestinya bersifat universal, pasti,
dan diyakini, maka objeknya juga harus tetap dan konstan, dan perkara-perkara
yang senantiasa berubah dan partikular tidak bisa dijadikan objek makrifat
hakiki. Oleh karena itu, pengetahuan indriawi bersifat keliru, berubah, dan
tidak bisa diyakini, sementara pengetahuan hakiki (baca: pengetahuan akal) itu
yang berhubungan dengan hal-hal yang konstan dan tak berubah ialah bisa
diyakini, universal, tetap, dan bersifat pasti. Dengan dasar ini, ia kemudian
melontarkan gagasan tentang mutsul (maujud-maujud non-materi di alam akal).Pengetahuan
hakiki dalam pandangan Plato ialah keyakinan benar yang bisa diargumentasikan,
dimana pengetahuan jenis ini terkait dengan hal-hal yang konstan.
Pengetahuan-pengetahuan selain ini ialah bersifat prasangka, hipotesa, dan
perkiraan belaka. Begitu pula, definisi plato tentang pengetahuan dan makrifat
lantas menjadi perhatian serius para epistemolog kontemporer.Lebih lanjut ia
berkata bahwa panca indra lahir itu tidak melakukan kesalahan, melainkan
kekeliruan itu bersumber dari kesalahan penetapan makna-makna maujud di ruang
memori pikiran atas perkara-perkara indriawi.
·
Aristotelesmurid Plato
lebih menekankan penjelasan ilmu dan
pembuktian asumsi-asumsinya daripada menjelaskan persoalan yang berkaitan
dengan probabilitas pengetahuan. Iayakin bahwa setiap ilmu berpijak pada
kaidah-kaidah awal dimana hal itu bisa dibuktikan di dalam ilmu-ilmu lain, akan
tetapi, proses pembuktian ini harus berakhir pada kaidah yang sangat gamblang
yang tak lagi membutuhkan pembuktianrasional. Dalam hal ini, prinsip
non-kontradiksi merupakan kaidah pertama yang sangat gamblang yang diketahui
secara fitrah. Ia menetapkan penggambaran universal, abstraksi, dan analisa
pikiran menggantikan gagasan mutsul Plato. Iamenyusun ilmu logika
dengan tujuan menetapkan suatu metode berpikir dan berargumentasi secara benar
dengan menggunakan kaidah-kaidah pertama dalam ilmu dan pengetahuan yang
bersifat gamblang (badihi), dengan
demikian, pencapaian hakikat dan makrifat hakiki ialah hal yang sangat mungkin
dan tidak mustahil.
·
Kelompok Rawaqiyun
yang yakin pada pengalaman agama dan
indra lahir, menolak pandangan tentang konsepsi universal pikiran dari
Aristoteles dan konsep mutsul Plato tersebut. Mereka beranggapan bahwa
pengetahuan itu adalah pengenalan partikular sesuatu. Disamping meyakini bentuk
intuisi batin (asy-syuhud) itu sebagai tolok ukur kebenaran, juga
meyakini penalaran rasionalitas.
·
Epicure (270-341 M)
memandang indra lahir sebagai
pondasi dan tolok ukur kebenaran pengetahuan. Makrifat yang diperoleh lewat
indra itu merupakan makrifat yang paling diyakini kebenarannya, dengan
perspektif ini, ilmu matematika dianggap hal yang tidak valid.
·
Kaum Skeptis
beranggapan bahwa kesalahan indra
lahir dan akal itu merupakan dalil atas ketidakabsahannya. Sebagian dari mereka
bahkan menolak secara mutlak adanya kebenaran dan sebagian lain memandang
kemustahilan pencapaiannya. Perbedaan kaum Skeptis dengan kaum Sophis adalah
bahwa argumentasi-argumentasi kaum Sophis menjadi pijakan utama kaum Skeptis.
Gagasan Skeptisisme muncul sebelum Masehi hingga abad kedua Masehi yang
dipropagandai oleh Agrippa (di abad pertama) dan kemudian dilanjutkan oleh
Saktus Amirikus (di abad kedua).
Walhasil,
epistemologi di zaman Yunani kuno dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan dan
kemudian dibahas dalam bentuk yang berbeda dalam filsafat. Dan semua persoalan,
keraguan, jawaban, dan solusinya hadir dalam bentuk yang semakin kuat dan sistimatis
serta terlontarnya pembahasan seputar probabilitas pengetahuan, sumber ilmu,
dan tolok ukur kesesuaian dengan realitas eksternal.
B. Epistemologi
pada Abad Pertengahan (dari Awal Masehi hingga Abad Kelimabelas)
Inti
pembahasan di abad pertengahan adalah persoalan yang terkait dengan
universalitas dan hakikat keberadaannya, disamping itu, juga mengkaji
dasar-dasar pengetahuan dan kebenaran.
·
Plotinus
penggagas maktab neo platonisme, di
abad ketiga masehi melontarkan gagasan-gagasan penting dalam epistemologi.
Ia
membagi tiga tingkatan persepsi (cognition):
1. Persepsi panca indra (sensuous
perception) berkaitan dengan hal-hal yang lahir
2. Pengertian (understanding)
berkaitan dengan argumentasi
3. Akal (logos, intellect)bisa
memahami hakikat kesatuan dalam kejamakan dan kejamakan dalam kesatuan tanpa
lewat proses berpikir
4. Tingkatan di atas akal adalah intuisi (asy-syuhud).
·
Augustine(354-430 M)
beranggapan bahwa ilmu terhadap jiwa
dan diri sendiri itu tidak termasuk dalam ruang lingkup yang bisa diragukan
oleh kaum Skeptis dan Sophis, di samping itu iamemandang bahwa ilmu itu sebagai
ilmu yang paling benar dan proposisi-proposisi matematika adalah bersifat
gamblang yang tidak bisa diragukan lagi. Pengetahuan indriawi itu, karena
objeknya senantiasa berubah, tidak tergolong sebagai makrifat hakiki.Dalam
pandangannya, ilmu dan pengetahuan dimulai dari diri sendiri, karena ilmu
terhadap jiwa tidak bisa diragukan. Salah satu ungkapan beliau adalah “Saya
ragu, oleh karena itu, saya ada“.
C. Epistemologi pada Zaman Modern (17 M – 19 M)
Zaman modern ditandai dengan berbagai penemuan dalam bidang ilmiah.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern sesungguhnya sudah dirintis
sejak Zaman Renaissance. Seperti Rene Descartes, tokoh yang terkenal sebagai
bapak filsafat modern. Rene Descartes juga seorang ahli ilmu pasti. Penemuannya
dalam ilmu pasti adalah sistem koordinat yang terdiri atas dua garis lurus X
dan Y dalam bidang datar. Isaac Newton dengan temuannya teori gravitasi. Charles
Darwin dengan teorinya struggle for life (perjuangan untuk
hidup). J.J Thompson dengan temuannya elektron.
Berikut penjelasan sekilas dari
filsuf-filsuf tersebut:
1. Rene Descartes
menemukan dalam ilmu pasti
ialah sistem koordinat yang terdiri atas dua garis lurus X dan Y dalam bidang
datar. Garis X letaknya horizontal dan disebut axis atau sumbu X, sedangkan
garis Y letaknya tegak lurus pada sumbu X. Karena sistem tersebut didasarkan
pada dua garis lurus yang berpotongan tegak lurus, maka sistem koordinat itu
dinamakan orthogonal coordinate system. Kedudukan tiap titik dalam
bidang tersebut diproyeksikan dengan garis-garis lurus pada sumbu X dan sumbu
Y. Dengan demikian kedudukan tiap titik potong kedua sumbu menyusuri
sumbu-sumbu tadi. Pentingnya sistem yang dikemukakan oleh Descartes ini
terletak pada hubungan yang diciptakannya antara ilmu ukur bidang datar dengan
aljabar. Tiap titik dapat dinyatakan dengan dua koordinat Xi dan Yi. Panjang
garis dapat dinyatakan serupa dengan hukum Pythagoras mengenai Hypothenusa.
Penemuan Descartes ini dinamakan Analytic Geometry. (Rizal
Mustansyir, 1996 : 48).
2.Isaac Newton
berperan dalam ilmu
pengetahuan modern terutama penemuannya dalam tiga bidang, yaitu teori
Gravitasi, perhitungan Calculus, dan Optika.
Ketiga bidang tersebut dapat
diuraikan (dalam Rizal Mustansyir, 1996) secara singkat adalah sebagai berikut:
a.
Teori Gravitasi adalah
perbincangan lanjutan mengenai soal pergerakan yang telah dirintis oleh
Galileo dan Keppler. Galileo mempelajari pergerakan dengan lintasan
lurus. Keppler mempelajari pergerakan dengan lintasan tertutup atau elips.
Berdasarkan perhitungan yang diajukan oleh Keppler menunjukkan bahwa tentu ada
faktor penyebab mengapa planet tidak mengikuti pergerakan dengan lintasan
lurus. Dugaan sementara penyebab ditimbulkan oleh matahari yang menarik bumi
atau antara matahari dengan bumi ada gaya saling tarik-menarik. Persoalan itu
menjadi obsesi Newton, namun ia menghadapi berbagai kesukaran. Perhitungan
besarnya bumi dan matahari belum diketahui, dan Newton belum mengetahui bahwa
pengaruh benda pada benda yang lain dapat dipandang dan dihitung dari pusat
titik berat benda-benda tadi. Setelah kedua hal ini diketahui oleh Newton,
barulah ia dapat menyusun teori Gravitasi. Teori Gravitasi menerangkan bahwa
planet tidak bergerak lurus, namun mengikuti lintasan elips, karena adanya
pengaruh gravitasi, yaitu kekuatan yang selalu akan timbul jika ada dua benda
berdekatan. Teori Gravitasi ini dapat menerangkan dasar dari semua lintasan
planet dan bulan, pengaruh pasang-surutnya air samudera, dan peristiwa
astronomi lainnya. Teori Gravitasi Newton ini dipergunakan oleh para ahli
berikutnya untuk pembuktian laboratorium dan penemuan planet baru di alam
semesta.
b. Perhitungan Calculus, yaitu hubungan antara X dan Y. Kalau X bertambah,
maka Y akan bertambah pula, tetapi menurut ketentuan yang tetap atau teratur.
Misalnya ada benda bergerak, panjangnya jarak yang ditempuh tergantung dari kecepatan
tiap detik dan panjangnya waktu pergerakan. Cara perhitungan Calculus ini
banyak manfaatnya untuk menghitung berbagai hubungan antara dua atau lebih hal
yang berubah, bersama dengan ketentuan yang teratur.
c. Optika atau mengenai cahaya; jika cahaya matahari dilewatkan sebuah prisma,
maka cahaya asli yang kelihatannya homogen menjadi terbias antara merah sampai
ungu, menjadi pelangi. Kemudian kalau pelangi itu dilewatkan sebuah prisma
lainnya yang terbalik, maka pelangi terkumpul kembali menjadi cahaya homogen.
Dengan demikian dapat dibuktikan bahwa cahaya itu sesungguhnya terdiri atas
komponen yang terbentang antara merah dan ungu.
3. Charles Darwin
dikenal sebagai penganut
teori evolusi yang fanatik. Darwin menyatakan bahwa perkembangan yang terjadi
pada makhluk di bumi terjadi karena seleksi alam. Teorinya yang terkenal adalah
struggle for life (perjuangan untuk hidup). Darwin berpendapat bahwa
perjuangan untuk hidup berlaku pada setiap kumpulan makhluk hidup yang sejenis,
karena meskipun sejenis namun tetap menampilkan kelainan-kelainan kecil.
Makhluk hidup yang berkelainan kecil itu berbeda-beda daya menyesuaikan dirinya
terhadap lingkungan. Makhluk hidup yang dapat menyesuaikan diri akan memiliki
peluang yang lebih besar untuk bertahan hidup lebih lama sedangkan yang kurang
dapat menyesuaikan diri akan tersisihkan karena kalah bersaing. Oleh karena itu
yang dapat bertahan adalah yang paling unggul (survival of the fittest).
(Rizal
Mustansyir, 1996).
2.6 Gagasan
Tentang Universalia
Salah
satu pembahasan inti di abad pertengahan ialah kajian tentang universal dan
sumber kehadirannya, yakni apakah universal itu adalah penyaksian mutsul Plato itu sendiri ataukah konsep abstraksi akal yang bersifat
universal yang sebagaimana diyakini oleh Aristoteles. Apakah “universal” itu
secara mendasar tidak memiliki wujud luar. Apakah “universal” itu hanya sebatas
suatu konsep. Apakah “universal” itu hanyalah sebuah kata umum yang bisa
mencakup beberapa individu-individu eksternal. Apakah wujud “universal” itu
sendiri sama dengan wujud “partikular” yang keberadaannya bukan hanya di alam
pikiran, bahkan juga berada di alam eksternal yang sebagaimana maujud-maujud
hakiki yang lain?
Sebagai
contoh “manusia universal”. Apakah “manusia universal” di sini hanyalah sebuah
konsep universal yang ada di alam pikiran semata, ataukah “manusia universal”
itu sendiri memiliki realitas eksternal (misalnya ia berada di alam non-materi)
yang hanya bisa disaksikan secara intuitif dan syuhudi, ataukah “manusia universal”
itu hanyalah sebuah kata umum yang bisa diterapkan pada lebih dari satu objek
individual?
Upaya-upaya
pemikiran di abad pertengahan itu tak lain ialah untuk menjawab
persoalan-persoalan tersebut. Dalam hal ini, ada tiga perspektif dan aliran
pemikiran:
1. Realisme (universalitas itu memiliki wujud eksternal atau mutsul Plato)
2. Idealisme (universal itu hanya terdapat dalam alam pikiran atau gagasan Aristoteles)
3. Nominalisme (menetapkan kata-kata umum yang mewakili individu-individu
eksternal).
·
Boethius(470-525 M)
ialah orang pertama yang beranggapan
bahwa universal itu hanyalah kata semata, walaupun iaberupaya menyelesaikan
persoalan universal itu lewat gagasan Aristoteles.
·
Roscelin (1050-1120 M)
berkeyakinan bahwa yang hanya ada di alam
eksternal adalah partikular, sementara universal itu tidaklah memiliki wujud
hakiki dan hanya bersifat kata-kata semata.
·
Peter Abelard (1079-1142 M) memandang bahwa universal itu terdapat di alam pikiran dan
konsep-konsep universal itu adalah konsep-konsep abstraksi yang diambil dari
maujud-maujud luar dengan memperhatikan sifat-sifatnya, dengan kata lain,
universal itu merupakan konsep-konsep yang terdapat dalam pikiran yang
menceritakan tentang realitas-realitas hakiki dan eksternal.Segala kaidah
filsafat dan ilmu berpijak pada penerimaan atas konsep-konsep universal, yakni
jika seseorang beranggapan bahwa universalitas itu hanyalah sebuah kata semata
dan menolak konsep universal itu, maka tidak satu pun kaidah yang iabisa
diterima, karena semua proposisi universal akan menjadi proposisi partikular
yang hanya terkait dengan individu tertentu saja, dengan demikian, segala
proposisi universal yang merupakan pijakan seluruh ilmu dan kaidah-kaidah
ilmiah tidak memiliki individu-individu eksternalnya, begitu pula, seluruh
filsafat dan hukum-hukumnya tak bermanfaat. Dengan alasan ini, pembahasan
“universalitas” memiliki urgensi.
·
Roger Bacon(1214-1294 M)
ialah orang yang berpijak pada
empirisme dan positivisme. Ia memandang bahwa alat pengetahuan adalah teks
suci, argumentasi, dan experimen. Proposisi matematik yang karena berkaitan
langsung dengan experiman bisa diterima.
·
Thomas Aquinas(1225-1274 M)
yakin bahwa rasionalitas dan
pemikiran itu sangat bergantung pada pengindraan lahiriah, yakni pertama-tama
indra lahir kita berhubungan dengan alam luar, kemudian akan terbentuk
konsep-konsep imajinasi, dari konsep ini akal akan membentuk konsep-konsep
universal. Perlu diketahui bahwa iabanyak bersentuhan dengan pemikiran filsafat
Islam.
·
William of Ockam(1287-1347 M)
adalah seorang yang dikenal sebagai
pengingkar konsep-konsep universal. Namun, sebenarnya tidak bisa dikatakan
bahwa ia secara mutlak mengingkari dan menolaknya, karena ia menafsirkan
“universal” itu sebagai “penghubung” antara pikiran dan objek-objek luar, dan
terkadang ia juga menyebut “penghubung” itu sebagai “konsep-konsep”.