Posts.
to impove your knowledge

Perkembangan Psikososial pada Anak Pertengahan

Nama : Esa Sa’diyah
Kelas : 1PA11
NPM : 18516328
Tugas : Bab 10 - Perkembangan Psikososial pada Anak Pertengahan

Salah satu hal yang paling berpengaruh dalam perkembangan anak pada masa pertengahan adalah sistem representasi, yaitu perluasan, keseimbangan, dan penilaian beragam aspek diri. Contohnya seorang anak yang menyukai pelajaran matematika dan kurang menyukai pelajaran olahraga menganggap dirinya pintar dalam pelajaran matematika tersebut, namun tidak pelajaran olahraga. Menurut Erikson (1982), faktor utama yang menentukan harga diri adalah pandangan anak-anak terhadap kapasitas untuk kerja produktif. Pada anak pertengahan, tahap keempat yaitu industry vs inferiority (kerja keras lawan rendah diri) yang lebih difokuskan. Pada masa ini, anak-anak belajar nilai-nilai keterampilan di dalam kelompok sosialnya. Contohnya seperti anak-anak di kampung yang belajar membajak sawah karena biasa melihat ayah mereka membajak sawah. Kompetensi atau pandangan diri akan kemampuan untuk menguasai keterampilan dan menyelesaikan tugas adalah hal yang ditekankan dalam konteks ini. Jika anak tidak lebih kompeten dibandingkan teman sebayanya mereka akan cenderung kembali ke orang tua. Sebaliknya, apabila mereka lebih kompeten mereka justru mengacuhkan hubungan dengan orang tua. Contohnya seperti seorang anak yang hebat bermain sepakbola dan selalu dijadikan striker andal oleh teman-temannya akan lebih sering bermain dengan teman-temannya daripada berada di rumah. Hal tersebut terjadi karena mereka merasa hal tersebut menaikkan harga diri mereka di depan teman-temannya. Namun, orang tua tetap memiliki peran yang sangat kuat dalam memengaruhi keyakinan anak terhadap kompetensinya.

Perkembangan emosional perilaku proposional
Di usia 7-8 tahun, anak secara khusus peka terhadap perasaan malu dan banggadan meteka telah memiliki pandangan yang jelas tentang lebih perbedaan antara rasa bersalah dan malu. Mereka mulai memahami emosi konfilk mereka. Seorang anak mejantuhkan vas bunga ibunya akan merasa merasa bersalah karena ia telah dapat membedakan apa yang seharusnya ia lakukan dan apa yang seharusnya tidak ia lakukan. Pada masa ini anak juga mulai menyadari aturan budaya mereka tentang emosi yang dapat diterima. Mereka belajar tentang apa yang membut mereka marah, takut, atau sedih dan bagajmana oranglain bereaksi dalam menampakkan emosi tersebut serta mereka belajar berlaku sesuai budayanya. Contohnya, apabila seorang anak yang mejatuhkqn vas tadi memiliki orang tua yang merespon dengan hukuman, hal tersebut dapat menimbulkan emosi takut pada anak tersebut dan merugikan penyesuaian sosial anak. Akibatnya anak suka menyimpan rahasia dan cemas akan perasaan negatif. Hal ini dapat meningkatkan resiko konflik antaranak dan orang tua pada saat masa remaja nanti. Regulasi atau kontrol emosi sangat diperlukan untuk mencegah atau memperbaiki hal tersebut. Anak dengan kontrol emosi yang rendah cenderung menjadi mudah marah dan frustasi ketika apa yang ia inginkan tidak terpenuhi. Sedangkan anak dengan kontrol emosi yang tinggi sebaliknya dapat meredam emosinya. Regulasi atau kontrol emosi berubah seiring bertambahnya usia. 

Pada masa pertengahan, anak cenderung menjadi lebih berempati. Studi erbaru tentanga aktivitas otak pada anak berusia 7-12 tahun menemukan bagian dari otak mereka yang aktif ketika ditunjukkan gambar orang yang kesakitan (Decety, Michalaska, Akitauki, & Lahey, 2009). Tak jarang banyak anak pada masa pertengahan yang sedih bahkan menangis jika melihat hewan liar yang mati. Anak-anak dengan harga diri yang tinggi cenderung menjadi relawan untuk membantu orang yang kurang beruntung dibanding mereka untuk membangun harga diri mereka sendiri (Karafantis & Levy, 2004).

Anak dalam keluarga
Anak pada usia sekolah menghabiskan banyak waktu di luar rumah dengan teman sebayanya daripada ketika mereka lebih muda. Hal tersebut memperkecil waktu anak bersama dengan keluarganya, walaupun keluarga tetaplah menjadi hal utama yang sangat penting dalam pembentukan pribadi anak. Menurut teori Bronfenbrenner, pekerjaan orang tua, status sosial ekonomi serta tren sosial membantu memebentuk lingkungan keluarga dan perkembangan anak. Contohnya anak yang tinggal bersama orang tua yang bekerja keras demi menghidupi keluarga berdampak pada anak yang nantinya juga akan memiliki jiwa pekerja keras. 

Pengaruh paling penting dari lingkungan keluarga pada perkembangan anak berasal dari suasana dalam rumah. Seorang anak yang hidup dengan kedua orang tua yang sering terlibat konflik akan mengakibatkan tingginya tingkai perilaku internalisasi seperti kecemasan, ketakutan dan depresi serta perilaku eksternalisasi seperti agresif, perkelahian, ketidakpatuhan dan permusuhan. Pertengahan masa anak membawa tahap peralihan coregulation (bekerja sama dalam menjalankan aturan), saat orang tua dan anak berbagi kekuasaan. Pada masa ini orang tua lebih mengedepankan komunikasi dua arah dibandingkan intervensi langsung. Hal tersebut justru membuat anak lebih cenderung mengikuti keinginan orang tua karen mereka menyadari bahwa orangtunya adil. Selain itu mereka juga setuju karena mereka telah memiliki pengalaman sebelumnya. Contohnya, orang tua dulu mendorong anaknya untuk suka dan menguasai pelajaran matematika padahal anak tersebut tidak menyukainya dan justru berbakat pada pelajaran seni. Namun pada masa ini orang tua lebih mendukung bakat anaknya dan bahkan memfasilitasinya.

Bentuk peralihan pada berkerja sama dalam menjalankan aturan memengaruhi cara orang tua mengatasi kedisiplinan dengan cara menanamkan rasa bersalah, konsekuensi dan hukuman. Beberapa orang tua memberikan hukuman fisik untuk menegakkan kedisiplinan. Penerapan kedisiplinan berupa hukuman fisik pada anak pertengahan dapat memunculkan hubungan buruk antaranak dan orang tua pada masa remaja. Namun, perberbedaan budaya sangat penting dalam konteks ini. Di beberapa negara belahan dunia seperti Turki, India dan Amerika Latin lebih mendukung pola asuh otoriter dengan cara memberikan banyak aturan bagi anak-anak mereka. 

Studi tentang hubungan pekerjaan orang tua dan kesejahterahan anak difokuskan pada pekerjaan ibu. Semakin puas seorang ibu dengan status pekerjaannya, semakin efektif dia menjadi orang tua. Bagaimana pekerjaannya berpengaruh pada anak-anaknya dapat bergantung pada seberapa banyak waktu dan energi yang ibu miliki untuk bersama anaknya dan panutan seperti apa ia bagi anaknya. 
Secara garis besar perceraian memberikan dampak kemiskinan bagi keluarga tersebut. Hal tersebut yang membuat seorang ibu menggantikan peran ayah untuk mencari nafkah bahkan tidak jarang terjadi depresi sosial. Hal tersebut menyebabkan intensitas ibu untuk mendidik dan menyayangi anaknya menjadi berkurang. Bahkan tidak jarang hal tersebut membuat ibu tunggal mengasuh anak dengan buruk seperti memarahi, memukul dan sebagainya. Hal ini berdampak pada perilaku dan emosi anak sehingga dapat menyebabkan perubahan sikap anak saat masa remaja nanti. Bukan hal yang asing jika melihat remaja yang tumbuh di keluarga yang tidak utuh menjadi pribadi yang agresif dan destruktif. Hal tersebut dapat terjadi karena tekanan yang telah mereka alami sejak masa anak-anak. Hal ini dapat dicegah dengan pengasuhan yang efektif. Salah satunya denhan cara membagi waktu antara pekerjaan dan mengurus anak sehingga keduanya tidak terabaikan secara sama rata. Cara yang lainnya adalah dengan dukungan keluarga besar yang ikut serta menjaga anak-anak tersebut agar perilaku mereka dapat terkontrol. 

Struktur keluarga
Menyesuaikan diri setelah perceraian kedua orang tua sering kali membuat anak menjadi stres. Dalam studi longitudinal dari hampir 11.000 anak Kanada, yang kedua orang tua nya bercerai menunjukkan kecemasan, depresi, atau sikap antisosial daripda anak yang orang tuanya tetap dalam pernikahan (Strohschein, 2005). Penyesuaian anak untuk perceraian tergatung pada usia anak, kedewasaan, gender, tempramen dan penyesuaian psikososial sebelum perceraian. Secara umum, anak yang kedua orang tuanya bercerai beresiko tinggi pada hasil yany negatif. Selain itu, anak yang masih kecil saat orang tuanya bercerai cenderung lebih menderita karena masalah perilaku. Sedangkan anak yang lebih tua akan bermadalaj dalam akademis dan aktivitas sosialnya (Landsford, 2009). 

Anak akan menjadi lebih baik setelah perceraian jika orang tua yang memiliki hak asuh hangat, penuh dukungan, otoritatif dan mengawasi aktivitas anaknya. Ibu tersebut harus dapat membuat keadaan rumah tetap seperti sebelumnya sehingga anak tidak merasa terganggu dengan hal tersebut. Hal ini bisa menjadi lebih baik bila diterapkan pengasuhan bersama, yaitu dibagi untuk kedua orang tua. Hal tersebut dapat menjadi keuntungan karena orang tua dapat melanjutkan kedekatan bersama anak-anaknya. Contohnya anak yang hak asuhnya jatuh pada ibunya bisa menghabiskan akhir pekan atau liburan kenaikan kelas bersama ayahnya agar anak tersebut tetap mendapat kasih sayang yang seimbang dari kedua belah pihak. Dalam jangka panjang, anak-anak tersebut dapat menyesuaikan diri dengan baik. Walaupun di beberapa kasus ada yang berdampak pada saat anak tersebut dewasa nanti dengan rasa takut untuk membangun sebuah hubungan bersama pasangan. Namun hal tersebut dapat dihindari lewat keyakinan diri sendiri dan dorongan dari orang-orang terdekat.

Anak yang tinggal di keluarga tanpa pernikahan hampir sama dengan kelurga yang menikah, walaupun lebih banyak kekurangannya. Hal ini masih sangat jarang terjadi di Indonesia karena melanggar undang-undang yang ada, sebaliknya hal ini lebih populer di negara barat. Keluarga tanpa pernikahan cenderung tidak berjalan lama sehingga hampir sama saja dengan keluarga dengan satu orang tua. Hal ini akan menyebabkan perubahan emosi, perilaku dan akademis bagi anak-anak. 

Anak yang tinggal dengan keluarga tiri seringkali mengakibatkan tekanan psikologis. Penyesuaian dengan orang tua tiri yang baru sering dianggap sebagai situasi yang penuh tekanan. Belum lagi jika anak tersebut harus menyesuaikan diri dengan saudara tiri mereka yang seumuran. Tidak jarang terjadi kecemburuan sosial antarsatu sama lain yang membuat mereka tidak akur. Hal ini membuat mereka menjadi benci rumah dan tidak jarang dari mereka yang menjadi pribadi yang destruktif. 

Anak yang tinggal dengan keluarga homoseksual hampir sama saja dengan anak yang tinggal di keluarga heteroseksual yang memiliki hubungan baik. Seorang anak memang seharusnya dibesarkan dengan seorang figur laki-laki dan seorang figur perempuan. Namun selama kedua orang tua tersebut dapat memposisikan peran mereka secara benar, hal tersebut bukanlah sebuah masalah besar. Pada masa ini, hal tersebut bukanlah hal yang asing lagi karena telah banyak negara yang melegalkan LGBTQ. Namun bila hal ini terjadi pada masa lampau atau di negara yang belum melegalkan LGBTQ, anak-anak tersebut berkemungkinan besar akan mengalami tekanan mental karena bullying oleh teman-teman sebayanya.
Keluarga yang mengadopsi anak cenderung tidak akan mengalami permasalahan. Terlebih lagi jika anak tersebut diadopsi sejak masa infancy. Tidak akan terjadi masalah penyesuaian. Beberpa permasalahan yang muncul baru akan terlihat setelah mereka dewasa dan mulai mengerti bagaimana pembentukan keluarga yang seharusnya. Saroo Bierly, seorang anak umur 6 tahun yang hilang di India kemudian diadopsi oleh keluarga dari Australia. Ia tetap dapat menyesuaikan diri dan menyayangi orang tua tirinya seperti orang tua kandungnya sendiri (Saroo Bierly dalam film biografi, “Lion”).

Hubungan dengan saudara kandung
Saudara yang lebih tua memiliki peranan yang ditentukan oleh budaya. Hal tersebut yang membuat banyak anak perempuan di Asia, Afrika, Oceania, Amerika Tengah dan Amerika Selatan yang merawat tiga sampai empat adiknya. Sedangkan saudara yang lebih tua di Amerika Serikat dan Eropa tidak terbebani dengan urusan merawat adik-adiknya. Mereka lebih cenderung mengajari adiknya secara informal dan bukan bagian dari sistem sosial. Jumlah saudara dalam keluarga dan jarak kelahiran, urutan kelahiran, serta gender sering kali menentukan peran dan hubungan mereka. Banyaknya jumlah saudara dalam masyarakat nonindustri membantu keluarga bekerja dan ikut membantu ketersediaan kebutuhan untuk anggota yang lebih muda. Dalam masyarakat industri, saudara cenderung lebih sedikit dan berjarak jauh dalam usia, memungkinkan orang tua lebih fokus pada sumber daya dan perhatian pada tiap-tiap anak (Cicirelli, 1994). Orang-orang di beberapa negara dunia seperti Jepang bahkan memilih untuk tidak memiliki anak. Saudara kandung dengan gender yang sama cenderung lebih sering bertengkar daripada yang berbeda gender. Bagi anak laki-laki sering menggunakan fisik dan perempuan lebih sering menggunakan kata-kata. Biasanya anak-anak dapat bertengkar hanya karena masalah kecil seperti kecemburuan antara satu sama lain. 

Anak dalam kelompok sebaya
Saat anak mulai menjauh dari pengaruh orang tua, kelimpok sebaya membuka pandangan baru dan membebaskan mereka melakukan penilaian yang mandiri. Dengan membandingkan diri mereka sendiri dengan teman sebayanya, anak dapat mengukur kemampuan mereka lebih realistis dan mencapai keyakinan akan kemampuan diri (Bandura, 1994). Kelompok sebaya dengan jenis kelamin yang sama dapat membantu anak mempelajari perilaku gender yang sesuai dan menyatukan peran gender tersebut dalam konsep diri mereka. Contohnya, tidak jarang kita melihat sekelompok anak-anak perempuan yang bermain masak-masakan atau menggendong boneka seolah mereka adalah ibu dari boneka tersebut. Hal ini membuktikan bahwa mereka mulai melakukan role playing dari apa yang mereka lihat dari ibu mereka sehari-hari. Selain itu, kelompok sebaya juga memiliki dampak negatif yaitu memperkuat prasangka. Pradanhka adalah sikap kurang baik terhadap anggota kelompok di luar dirinya. Bisanya terjadi di negara barat seperti anak-anak kulit putih yang tidak mau bermain dengan anak berkulit hitam atau hispanik. 

Popularitas
Popularitas sangat penting pada masa pertengahan anak. Anak usia sekolah yang disukai banyak teman sebayanya akan lebih baik dalam penyesuaian diri ketika masa remaja nanti. Bagi yang tidak diterima sebaya atau yang lebih agresif akan mengembangkan masalah-masalah psikologisnya, seperti putus sekolah atau kenakalan remaja. Popularitas dapat diukur dengan dua cara dan hasilnya dapat berbeda. Peneliti mengukur popularitas sosiometrik dengan bertanya pada anak-anak teman sebaya mana yang paling disukai dan yang tidak. Studi ini mengelompokkan lima status kelompok sebaya, yaitu populer inak-anak muda yang menerima banyak nominasi positif), ditolah yang menerima banyak ominasi negatif), diabaikan (yang menerima sedikit nominasi dari kedua jenis), kontroversial rang menerima banyak nominasi positif dan negatif), serta rata-rata (mereka yang tidak menerima jumlah nominasi yang tidak biasa untuk kedua jenis nominasi). Popularitas persepsi diukur dengan menanyakan anak-anak mana yang paling disukai kelompok sebayanya. Secara sosiometrik anak yang populer memiliki kemampuan kognitif yang baik, bagus alam pencapaian, bagus dalam pemecahan masalah sosial, membantu teman yang lain, dan bertindak tegas tanpa menjadi merusak atau agresif Mereka baik hati, dapat dipercaya, bekerja, membuka diri, dan menyediakan dukungan emosi yang baik. Kemampuan sosial superior mereka tersebut membuat yang lain merasa nyaman dengan mereka (Cilessen & Mayeux, 2004; La Fontana & Cillessen, 2002; Masten & Coatsworth, 1998; Newcomb dkk. 993). 

Seringkali dalam keluarga, anak dituntut menunjukkan perilaku yang berdampak pada popularitas. Orang tua yang otoritatif cenderung memiliki wnak yang populer daripada orang tua yang otoriter. Hak tersebut dapat terjadi karena keluarga faoat mempromosikan atau menghalangi perkembangan kompetensi sosial dan kemampuan bersosialisasi anak. Selain keluarga, budaya juga dapat memengaruhi popularitas. Saat dilakukan sebuah studi di China pada tiga kohor yaitu 1990, 1998 dan 2002 terdapat perbedaan yang signifikan pada rasa malu dan sensitivitas anak. Di tahun 1990an, anak pemalu diterima oleh kelompoknya, meraih pencapaian tertinggi pada bidang akademis dan lain-lain. Pada tahun 2002, anak yang pemalu sebaliknya ditolak oleh kelompok dan dianggap kurang kompeten.  Yang terbaru adakah kurikulum 2013 yang mulai diterapkan di sekolah-sekolah menggantikan kurikulum KTSP 2006 yang mengharuskan anak menjadi aktif dan inisiatif di kelas dan guru hanya menjadi fasilitator. Hal ini membuat anak-anak pemalu dengan otak pintar pun tidak menonjol dan dianggap tidak kompeten oleh guru mereka. 

Persahabatan
Memiliki teman sangatlah penting karena penolakan sebaya dan tidak memiliki teman di pertengahan masa anak-anak akan memberikan efek negatif jangka panjang. Dalam sebuah studi longitudinal, anak kelas lima yang tidak memiliki teman akan sama dengan teman-teman sekelas mereka yang memiliki harga diri yang rendah di masa dewasa dan menunjukkan gejala depresi (Bagwell, Newcomb, & Bukowski, 1998). Dia menemukan bahwa kebanyakan anak sekolah ada tingkat kedua (persahabatan yang saling menguntungkan berdasarkan ketertarikan pribadi). Anak-anak pada masa ini berteman karena memang mereka ingin berteman dengannya, mereka belum memiliki alasan. Sedangkan beberapa anak yang lebih tua, 9 tahun ke atas, berada pada tingkat ketiga lebih mengedepankan intimasi, hubungan yang saling berbagi dan menguntungkan. Anak-anak pada masa ini mulai memiliki rahasia yang hanya mereka bisa ceritakan kepada orang yang bisa mereka percaya.

Agresi dan penindasan
Setelah usia 6 atau 7 tahun kebanyakan anak menjadi kurang agresif, tidak egosentis, lebih berempati, lebih kooperatif dan lebih baik dalam berkomunikasi. Mereka dapat menempatkan diri di lingkungam lain, dapat memahami motif orang lain dan dapat menemukan cara yang positif dalam memperlakukan diri mereka sendiri. Ada dua tipe agresi yaitu agresi instrumental yang dilakukan untuk mencapai tujuan dan agresi permusuhan yang betujuan menyakiti orang. Anak laki-laki cenderung melakukan agresi secara langsung seperti berkelahi, sedangkan perempuan cenderung melakukan agresi tidak langsung seperti melontarkan sindiran. Agresi tinggi pada anak seringkali menimbulkan sikap antisosial. Meskipun agresor cenderung secara personal tidak disukai, hal ini kenamuakan terjadi pada anak yang populer di kelas. Pada anak laki-laki, agresi cenderung meningkatkan status sosialnya. Mereka lebih dihormati oleh teman-temannya. 

Salah satu hal yang membuat anak bertindak agresif adalah cara mereka mengolah informasi sosial, bagaimana mereka mengintepretasikan apa yang mereka peroleh. Agresor memandang kekuatan dan paksaan sebagai cara yang efektif untuk mendapatkan apa yang mereka mau. Mereka mengharapkam imbalan dari apa yang mereka lakukan dan ketika mereka mendapatkannya, mereka percaya bahea agresi yang dilakukannya efektif. Contohnya seperti anak-anak yang suka melakukan bullying pada temannya, seperti memalak meminta uang, meminta makanan, atau menyuruh melakukan sesuatu. 

Media elektronik juga memacu sifat agresi anak. Kemudahan anak mengakses media elektronik memengaruhi anak dalam menyerap perlakuan yang kurang baik. Anak-anak terbukti lebih mudah menyerap suatu perlakukan lewat televisi, film atau video game dibandingkan melihat perlakuan tersebut secara langsung. Penelitian tentang fsmpk video games dan Internet menyatakan bahwa peninhkatan jekerasan jangka panjang lebih banyak dipengaruhi oleu video games, televisi dan film. Tontonan seperti Tom & Jerry video game Smackdown contohnya. Anak yang biasa melihat karakter yang menggunakan kekerasan akan berpikir bahwa kekerasan adalah cara yang efektif untuk menyelesaikan masalah. Hal tersebut dapat diatasi dengan melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap apa yang anak-anak tonton atau mainkan. 

Agresi menjadi penindasan ketika ditujukan langsung terhadap target tertentu; seorang korban. Penindasan dapat secara fisik (memukul, mencubit, menendang, atau merusak milik orang lain), secara verbal (penyebutan nama atau ancaman) atau secara hubungan atau emosi isolasi dan gosip yang sering dilakukan di belakang korban). Penindasan dapat menjadi proaktif, dilakukan untuk menunjukkan dominasi memperkuat atau reaktif, merespons serangan nyata atau yang kekuatan atau mengagumi kemenangan dibayangkan. Penindasan cyber menerbitkan komentar negatif atau memasang di situs jejaring-sudah menjadi hal yang umum terjadi (Berger, 2007). Meningkatnya penggunaan telepon seluler, pesan teks, surel dan ruang mengobrol, membuka kesempatan untuk melakukan penindasan yang memberikan akses ke korban tanpa perlindungan keluarga masyarakat (Huesmann,2007). Saking maraknya cyber bullying, Indonesia telah membuat undang-undang yang mendasari itu. Korban dari penindasan yang kronis cenderung mengembangkan masalah-masalah perilaku. Mereka menjadi lebih agresif atau lebih depresi. 

Kesehatan mental 
Dilaporkan sebanyak 55,7 persen anak yang didiagnosis dengan masalah emosi, perilaku dan perkembangan memiliki gangguan perilaku yang mengganggu; agresi, penyimpangan, atau perilaku antisosial. Hampir sebanyak 43,5 eprden memiliki gangguan kecemasan atau suasana hati; perasaan sedih, depresi, tidak dicintai, gugup, takut akan merasa sendiri (Bethell, Read, & Blueberg 2005).

Gangguan tingkah laku yang mengganggu seperti temper tantrum (pemarah) umumya terjadi di usia sekitar 4-5 tahun. Ketika pola tersebut bertahan sampai usia 8 tahun anak tersebut bisa didiagnosis Oppositional Defiant Disorder (ODD). Anak-anak dengan ODD terus menerus bertengkar, beradu argumen, kehilangan kendali marah, merebut sesuatu dan lain-lain. Mereka hanya memiliki beberapa teman dan selalu menguji kesabaran orang dewasa. Anak yang didiagnosis ODD akan berdampak negatif ketika mereka remaja nanti. Mereka dapat melakukan penyimpangan yang bahkan mengarah kriminal seperti minum-minuman keras, mencuri, dan menggunakan obat-obat terlarang. 

Fobia sekolah dan gangguan kecemasan lain juga merupakan kelainan mental yang perlu diperhatikan. Pada masa anak-anak, masuk sekolah dasar adalah salah satu hal yang sangat berpengaruh bagi pembentukan pribadi anak. Tidak jarang anak yang menangis saat sekolah sehingga harus ditunggu oleh orang tuanya. Bahkan ada yang tidak mau masuk sekolah sama sekali. Fobia sekolah yang sesungguhnya adalah bentuk gangguan kecemasan untuk berpisah. Kecemasan tersebut juga merupakan gejala awal dari depresi. Terkadang fobia sekolah juga merupakan bentuk dari fobia sosial, yaitu ketakutan berlebihan pada situasi sosial seperti berbicara di depan kelas atau mengenal teman-teman baru. Obsessive Compulsive Disorder (OCD) juga merupakan gangguan yang sering terjadi pada anak-anak masa pertengahan. OCD muncul karena pengulangan, pikiran merusak, gambaran, atau dorongan, sering kali mengarah pada perilaku yang berulang-ulang. OCD lebih sering terjadi pada perempuan. Contohnya seperti seorang anak yang didiagnosis OCD akan memperkenalkan dirinya di depan kelas, karena ia sangat gugup ia mungkin mengulang menyebut namanya berkali-kali. 

Depresi masa anak adalah gangguan suasana hati dikategorikan dengan gejala berkepanjangan mengenai perasaan tidak memiliki teman, ketidakmampuan bersenang-senang atau berkonsentrasi, sakit pinggang, kegiatan akstrem atau apatis, merasa tidak berguna, perubahan berat badan, keluhan fisik, dan pikiran akan kematian, serta bunuh diri. Penyebab utama depresi cenderung berasal dari keluarga dengan pola pengasuhan penuh tekanan, kecemasan, kemampuan melecehkan atau perilaku antisosial. Hal ini akan sangat berdampak pada saat mereka remaja. Remaja yang mengakhiri hidupnya rata-rata telah mengalami depresi sejak masa anak-anak. 

Teknik penanganan dapat dilakukan dengan beberapa cara. Cara pertama adalah psikoterapi individual yaitu perawatan psikologis yang melihat individu yang bermasalah satu persatu. Biasanya anak bertatap muka langsung dengan terapis dan menceritakan masalahnya. Selain itu ada cara terapi keluarga yaitu terapis melihat seluruh anggota keluarga untuk mengumpulkan, untuk menganalisa bentuk-bentuk fungsi keluarga. Terapi perilaku atau modifikasi perilaku menggunakan prinsip teori belajar untuk mengurangi perilaku yang tidak diinginkan atau mengembangkan perilaku yang diinginkan. Terapi perilaku lebih efektif daripada metode non-perilaku. Terapi ini diarahakan untuk mengubah pikiran-pikiran negatif melalui ekspos yang bertahap, pemodelan, hadiah, atau bicara dengan diri sendiri. Contohnya terapi perilaku adalah metode menghilangkan fobia bagi anak-anak. Selain itu ada juga terapi seni yang mengizinkan individu mengekspresikan perasaan yang bermasalah tanpa kata-kata tetapi dengan berbagai bahan seni dan media. Contohnya anak akan menunjukkan emosi terdalamnya melalui warna pilihan dan objek yang dilukiskan. Terapi bermain juga merupakan salah satu cara yang efektif. Terapis membiarkan anak-anak tersebut bermain dengan sesekali berkomentar, bertanya atau memberikan saran. Yang terakhir adalah terapi obat untuk menyembuhkan ganggun emosi anak, biasanya pada tingkat tinggi. Terapi ini masih kontroversial karena tidak jarang anak-anak yang mengkonsumsi antidepresan pada masa anak-anak cenderung memiliki niat untuk bunuh diri saat masa remaja.  

Stres dan ketangguhan
Keluarga dan lingkungan memengaruhi stres anak-anak masa pertengahan. Anak yang selalu dituntut oleh orang tuanya demi rasa gengsi cenderung menjadi stres. Begitu pula anak yang tinggal di lingkungan kampung penuh pencuri dan penjahat. Hal ini dapat mengakibatkan trauma pada anak. Respon anak terhadap kejadian traumatis umumnya terjadi dalam dua tingkat; pertama percaya penolakan, tidak percaya, duka cita, dan perasaan lega jika orang yang disayanginya tidak terluka; Tingkat kedua, beberapa hari atau minggu kemudian, regresi pada perkembangan dan tanda-tanda stres emosi-kecemasan, rasa takut, penarikan diri, gangguan tidur, pesimis terhadap masa depan, atau bermain yang dihubungkan dengan tema dari peristiwa. Jika gejala tetap ada lebih dari sebulan, anak-anak harus mendapatkan konseling (Hagan dkk., 2005). Orang tua cenderung menyepelekan jumlah stres yang dialami anak mereka. Mereka hanya menganggap itu suatu proses menuju kedewasaan dan kemudian melewatkan kesempatan untuk mengintervensi. 

Menghadapi stress; beberapa anak disebut anak yang tanguh karena dapat berfungsi baik sekalipun dihadapi tantangan atau ancaman peristiwa traumatis. Hal-hal yang dapat mengatasi stres dan berkontribusi untuk ketangguhan anak adalah hubungan keluarga yang baik dan fungsi kognitif (Masten & Coastworth, 1998). Anak yang tangguh biasanya memiliki ikatan yang kuat dengan orang tuanya. Anak yang tangguh juga cenderung memiliki IQ yang timggindan mampu menyelesaikan masalah dengan baik. Mereka memiliki kemampuan kognitif yang dapat membantu diri mereka dalam mengatasi kesulitan. 

Keutuhan rumah tangga sangat berdampak dalam pembentukan pribadi anak-anak masa pertengahan. Apabila keluarganya dikatakan keluarga yang sehat dengan seorang ayah, ibu, kakak atau adik yang akur, saling menyayangi dan mendukung satu sama lain akan berdampak baik bagi anak di masa remajanya. Keterbukaan antar orang tua dan anak juga menjadi hal yang penting, komunikasi dua arah dan diskusi membuat anak merasa lebih dihargai posisinya dalam keluarga

Esa Sa'diyah Esa Sa'diyah Author

About

My photo
i like to write and talk about psychology and music most of the times.

Check Out My Podcast!

Anti Sedih-Sedih Podcast!

Check Out My Design!

Check Out My Design!
Klik gambar untuk lihat designku!

Translate

Follow Me